Senin, 11 Agustus 2014

Rukun Iman Sebagai Realisasi Kalimat Syahadat

A.    Kalimat Syahadat
  1.        Pengertian Syahadat

Syahadat dalam artian bahasa adalah persaksian atau menyaksikan seperti halnya menyaksikannya mata atas sesuatu, artinya yaitu menyaksikan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah dengan direalisasikan dalam bentuk Ihsan. Dalam pengertian yang lain syahadat dapat diartikan sebagai pemberitahuan seseorang tentang kebenaran kepada orang lain, artinya syahadat bukanlah hanya sekedar kesaksian yang diucapkan oleh lisan saja, melainkan harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik berupa dakwah billisan maupun dakwah bilhal. Sedangkan menurut istilah syahadat adalah mengakui dengan lisan yang disertai dengan tunduk atau patuhnya hati bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, artinya syahadat itu tidaklah cukup hanya diucapkan/mengakui saja, tetapi harus direalisasikan dengan bentuk peribadatan kepada Allah. Karena dengan pengertian syahadat yang hanya dibatasi pada pengucapan lisan saja dapat menimbulkan interpretasi bahwa orang munafik adalah orang yang bersyahadat, sedangkan sifat dari munafik adalah ucapannya berbeda dengan kata hatinya atau keyakinannya.
a. Syahadat tauhid
Makna syahadat tauhid ditinjau dari lafadznya memiliki dua makna yaitu Al-Nafyu dan Al-Itsbat. Al-Nafyu adalah menafikan atau meniadakan semua sesembahan selain Allah, dan Al-Itsbat adalah menetapkan ibadah atau penyembahan hanya kepada Allah yang tiada sekutu baginya.
Sedangkan makna syahadat Tauhid ditinjau dari kandungannya adalah ikrar akan kesaksian seorang muslim pada ketuhanan Allah swt. yang tiada sekutu baginya, hal ini didasarkan pada beberapa ayat Al-quran yang menjelaskan tentang tauhid, diantaranya adalah;
"Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhluknya)" (Qs. Al-Baqarah/2:255).
Kalimat thayyibah tersebut mengandung makna bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah walau hanya dalam I'tiqad atau angan-angannya kecuali Allah swt., maka konsekuensi dari syahadat tauhid adalah hanya kepada Allahlah kita beribadah. Sedangkan syahadat tauhid adalah meyakini, mengimani dan membenarkan bahwa hanya Allahlah yang berhak disembah serta mengingkari adanya tuhan selain Allah, baik itu dalam perkataan/ucapan, I'tiqad, maupun praktek penyembahannya.
b. Syahadat rasul
Makna dari syahadat rasul adalah meyakini, mengimani, dan membenarkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, beliau adalah nabi terakhir yang tidak ada nabi sesudahnya.
Syahadat rasul ini merupakan interpretasi dari syahadat tauhid, karena hanya Rasulullahlah yang menjadi teladan atas sesuatu yang diperintahkan oleh Allah. Tanpa adanya teladan dari Rasul, maka tidak akan ada manusia yang dapat merealisasikan keimanannya kepada Allah dalam kehidupan dan peribadatannya sehingga keimanan seseorang kepada Allah harus disertai keimanan kepada Rasulullah Muhammad saw., karena apabila hanya iman kepada Allah saja tanpa keyakinan kepada kerasulan Muhammad maka hukumnya sama dengan nasroni atau yahudi.

2.2.                 Kedudukan syahadat

Syahadat memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam, karena dengan syahadat dapat mendapatkan kenikmatan yang abadi baik didunia maupun diakhirat. Syahadat memiliki dua pilar utama dalam ilmu ke-Islam-an yaitu keimanan/ketauhidan dan peribadatan/ibadah. Sehingga syahadat memiliki makna yang besar bagi para nabi dan ulama dalam perjuangan dakwahnya karena syahadat sebagai dasar utama yang diperjuangkannya.
Sebagai rukun Islam pertama syahadat merupakan pintu masuknya Islam, dan karenanya dibebankan kewajiban-kewajiban pada mukallaf. Sehingga untuk dapat mengamalkan syahadat tersebut perlu mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, karena pemahaman muslim terrhadap syahadat akan membawa pada perubahan-perubahan individu maupun masyarakat yang sangat besar.1[1]
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal, untuk meng-islam-kan sekelompok orang yang tinggal di negeri Yaman. Sebelum Sahabat Mu’adz bin Jabal berangkat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz : “Ajaklah mereka agar mau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut (bersyahadat) maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka solat lima waktu sehari semalam. Lalu apabila mereka telah melakukan hal tersebut, maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mensedekahkan harta mereka, yang sedekah tersebut diambil dari orang-orang kaya dari mereka, dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka” (HR. Bukhori).
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwasanya bersaksi dengan dua kalimat syahadat adalah syarat sah islam. Sholat dan zakat barulah diperintahkan setelah mereka mau bersaksi dengan dua kalimat syahadat. Jika mereka tidak mau bersaksi, maka sholat, zakat, dan amalan-amalan lainnya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.[2]




B.     Realisasi Syahadat dalam Rukun Iman
1.       Interpretasi Syahadat Tauhid dalam peribadatan kepada Allah
Interpretasi dari Syahadat tauhid adalah keimanan dan ketauhidan, sehingga interpretasi dari Syahadat Tauhid adalah berupa perbuatan hati yaitu dapat di implementasikan dengan berdzikir sebagai penguat iman.
Syekh Imam Suhaemi menjelaskan bahwa kalimat thayyibah mengandung 12 macam kewajiban, hal ini didasarkan pada jumlah huruf dari kalimat tersebut yang terdiri dari 12 huruf. Kewajiban tersebut dibagi kedalam dua bagian, yaitu pekerjaan dzahir dan pekerjaan bathin. Pekerjaan dzahir tersebut terdiri dari: thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad, sedangkan pekerjaan bathin tersebut terdiri dari: tawakkal, tafwidh, sabar, ridha, zuhud, dan taubat.
Syahadat tauhid merupakan suatu ikrar kesetiaan seorang hamba kepada tuhannya yaitu Allah, sehingga dengan persaksian tersebut mengandung beberapa makna yang harus di implementasikan dalam peribadatan kepada Allah, diantaranya yaitu:
a. Tidak berlindung kepada selain Allah, karena perlindungan itu hanya milik Allah. Seperti yang dipaparkan dalam Al-quran surah An-Nas.
"Katakanlah (Muhammad): Aku berlindung kepada tuhannya manusia" (Qs. Al-Nas/114:1).
b. Mencintai Allah melebihi daripada yang lain.
"Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah" (Qs. Al-Baqarah/2:165).
c. Mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah.
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan" (Qs. Al-Fatihah/1:5).




2.       Interpretasi Syahadat rasul dalam peribadatan kepada Allah
Seperti yang dipaparkan diatas bahwa syahadat tauhid mengandung konsep tauhid/aqidah atau ketuhanan Allah swt., sedangkan syahadat rasul mengandung konsep syari'at yaitu bentuk pelaksanaan daripada peribadatan kepada Allah dengan beberapa aturan syara', sehingga interpretasi dari syahadat rasul adalah pelaksanaan syari'at menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Syahadat rasul merupakan suatu ikrar kesetiaan hamba kepada utusan Allah yaitu Muhammad saw. untuk tetap setia beribadah kepada Allah, sehingga dengan ikrar tersebut mengandung beberapa makna yang harus di implementasikan dalam peribadatan kepada Allah, diantaranya yaitu:
a. Membenarkan setiap yang dikhabarkan Rasul semata-mata hanya berdasarkan firman dari Allah swt..
"Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah" (Qs. Al-Nisa/4:80).
b. Taat pada apa yang diperintahkan, yaitu menjalankan perintah wajib dan sunnah Rasul.
"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)" (Qs. Al-Nisa/4:59).
c. Menjadikan Rasul sebagai teladan. Keteladanan Rasul tersebut meliputi tiga pelajaran utama, yaitu ketekunannya dalam beribadah, kepeduliannya terhadap permasalahan sosial, dan kehidupannya yang tidak diperbudak oleh hawa nafsu.
"Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu" (Qs. Al-Ahzab/33:21).[3]



3.      Realisasi syahadat dalam peribadatan
Ibadah merupakan hakekat manusia diciptakan, sehingga tidak bisa terlepas dari semua aturan yang disampaikan oleh Allah melalui Rasul-Nya. Ibadah merupakan perbuatan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, yang berlawanan dengan hawa nafsunya. Aktualisasi syahadat dalam peribadatan ini meliputi dua kategori yaitu;
a. Shalat
Pelaksanaan shalat dalam Al-quran disebutkan dengan Al-Iqamah, artinya melaksanakan shalat itu harus dengan sempurna dalam syarat, rukun, dan sunnahnya.
Shalat merupakan amal ibadah yang paling utama dari semua bentuk peribadatan karena dengan shalat dapat membimbing manusia pada keshalihan individu dan juga sosial. Hal ini didasarkan pada ayat Al-quran surat Al-Ankabut ayat 45 yang memaparkan bahwa dengan shalat dapat mencegah manusia dari perbuatan hina dan kemungkaran, dengan kondisi manusia dan masyarakatnya yang demikian maka akan terjalin dan tercipta sebuah masyarakat yang shaleh dan tentram. Keberhasilan dari shalat tersebut tergantung pada kesempurnaannya dalam melaksanakan syarat, rukun, dan sunnahnya. Karena shalat mengandung makna tersendiri dari bentuk pelaksanaannya yaitu:
1. Terdapat nilai kedisiplinan, hal ini dapat kita lihat dari penetapan shalat yang telah jelas ditentukan waktunya sehingga dengan kelima waktu shalat tersebut manusia dibimbing untuk selalu ingat waktu.
2. Terdapat nilai dzikir, karena pada prinsipnya shalat merupakan waktu untuk menghadap dan mengingat Allah seperti yang dipaparkan dalam surat Thaha ayat 14.
3. Terdapat nilai kesopanan dan adab, hal ini didasarkan pada peraturan shalat yang menerapkan tentang keharusan menutup aurat, menutup aurat dizaman sekarang ini merupakan suatu hal yang tabu bahkan menjadi tontonan yang aneh. Disamping nilai kesopanan tersebut terdapat nilai adab terhadap sang pencipta, karena shalat merupakan suatu praktek menghadapnya hamba kepada sang raja yaitu Allah, sehingga untuk menghadap raja haruslah menghias diri. penghiasan diri tersebut dimulai dari menutup urat, dan penutup aurat tersebut pun harus diperhatikan dengan pakaian yang pantas dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. seperti dengan memakai Imamah (sorban).
b. Puasa
Puasa merupakan praktek dari penguasaan seorang hamba terhadap hawa nafsunya, sehingga ia akan selamat baik didunia maupun diakheratnya, karena pada dasarnya kecelakaan manusia itu diawali oleh kepatuhannya pada hawa nafsunya sehingga mampu meninggalkan semua bentuk peribadatan kepada Allah. Dengan demikian uzlah yang merupakan praktek ibadah para sufi pun termasuk dari konsep puasa.
4.       Realisasi syahadat dalam hubungan sosial
Syahadat mengandung makna ketauhidan/ibadah dan juga makna syariat/sosial. Sehingga disamping diaktualisasikan dalam peribadatan, syahadatpun diaktualisasikan dalam hubungan sosial. Fungsi syahadat dalam hubungan sosial tersebut dapat diaktualisasikan kedalam dua kriteria berikut;
a. Zakat
Zakat merupakan sebuah contoh aktualisasi dalam hubungan sosial, karena implementasi dari zakat adalah kepedulian terhadap oranglain. Dengan demikian pelaksanaan zakat merupakan salah satu yang diwajibkan oleh Allah kepada mukallaf yang telah bersyahadat (bersaksi atas ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad).


b. Haji
Pelaksanaan haji mengandung intisari dari makna keikhlasan dan zuhud, karena pada dasarnya setiap manusia masih terbebani oleh ketamakannya terhadap kenikmatan dunia kecuali orang-orang yang zuhud. Dengan ibadah haji ini dapat diambil suatu pelajaran yang besar bahwa harta yang kita miliki hanyalah milik Allah semata dan akan kembali kepada-Nya.

Selasa, 07 Mei 2013

SUMBER AQIDAH ISLAM


SUMBER AQIDAH ISLAM

Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi :
1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama.
2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan oleh Allah azza wa jalla.

A.  Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah perkataan Allah  yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan proses wahyu, membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalan mutawaatir (jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), dan terjaga dari penyimpangan, perubahan, penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah Iberfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al An’am:115)
Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.

B. As Sunnah
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah
“Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud)
Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang penyimpangan.
Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah yang artinya :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.

C. Ijma’ Para Ulama
Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma’, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S An Nisaa:115)
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qatha’i.

D. Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqah) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.

E. Fitrah Kehidupan
Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim).
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba kepada Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya.
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur” (Q.S Al Israa’:67)
Semoga Alloh memahamkan kita terhadap ilmu yang bermanfaat, mengokohkan keimanan dengan pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan amalan-amalan yang bermakna. Wallahu’alam.

Ruang Lingkup Aqidah dan Iman


Ruang Lingkup Aqidah dan Iman

1. Ruang Lingkup Aqidah
          Kajian aqidah menyangkut keyakinan umat Islam atau iman. Karena itulah, secara formal, ajaran dasar tersebut terangkum dalam rukun iman yang enam. Oleh sebab itu, sebagian para ulama dalam pembahasan atau kajian aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun iman yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah swt.

            Sementara Hasan al-Banna dalam kajiannya tentang aqidah Islam menggunakan sistematika sebagai berikut:
a. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.
b. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, karamat dan sebagainya.
c. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain sebaginya.
d. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sama’, yaitu dalil naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan sebagainya.

2. Ruang Lingkup Iman 
              Hadits Ibnu Majah diatas membuktikan bahwa ruang lingkup Iman mencakup tiga aspek kehidupan manusia, yaitu meliputi seluruh isi hati, seluruh ucapan dan segenap laku perbuatan. Ketiga aspek tersebut yaitu isi atau ketetapan hati, seluruh ucapan dan segenap laku perbuatan adalah satu kebulatan hidup manusia dalam arti kebudayaan dan peradaban.Untuk lebih ringkas dan tajam maka masalah bagian isi hati dan ucapan yang memberi dan menyatakan pernilaian dan pandangan, misalnya “Matahari berputar tetap pada sumbunya – Surat 036 Yasin ayat 38 - Wasy syamsu tajri li mustaqarril lahaa dzaalika taqdiirul’aziizil aliim dsb. Kita simpulkan menjadi pandangan hidup; dan bagian isi hati dan ucapan yang mengenai dan mencakup seluruh laku perbuatan manusia kita simpulkan menjadi sikap hidup. Dengan demikian maka hadits diatas, untuk lebih singkat dan mendekati hakikinya, kita terjemahkan menjadi Iman ialah Pandangan dan Sikap Hidup.

Pengertian Aqidah dan Iman


Pengertian Aqidah dan Iman
Dalam pembahasan pengertian aqidah dan iman ini,  terdapat dua hal yang perlu di jelaskan terlebih dahulu, yaitu: “aqidah”, dan “iman”. Dua konsep tersebut pada gilirannya perlu dipahami sebagai suatu kesatuan konsep  “aqidah dan iman”.
1. Pengertian Aqidah
Dalam Kamus al-Munawir, secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan. ‘Aqdan berati simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama Islam, antara lain:
a. Menurut Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-rasail:
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ ِبهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ.
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
b. Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّّهُ يُصِحُّّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih proporsional, yaitu:
1) Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing intrumen tersebut pada posisi sebenarnya.
2) Keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pencampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
3) Aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya kesekarasan dan kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat batiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriyah dan batiniah.
4) Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
2. Pengertian Iman
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakanya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan bahwa iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh) maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.